Minggu, 31 Januari 2010

Sang Primadona

Cerpen A. Mustofa Bisri

Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing.
Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat. Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.

Tapi agar jelas, biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi "primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak memanjakanku, sangat menyayangiku.

Di sekolah, mulai SD sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan dan tidak jarang aku menjadi juara.

Ketika di SD aku pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat provinsi.

Tapi sungguh, aku tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model. Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun tidak berlanjut.

Seperti umumnya artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku? Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.

Soal kuliahku yang tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku, "Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang. Materi cukup."

Memang sebagai perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih lontang-lantung mencari pekerjaan.

Kadang-kadang untuk sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu, kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung atau melalui surat, ialah soal ibadah.

"Nduk, ibadah itu penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"

"Sempatkan membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak hilang."

"Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."

Ya, kalimat-kalimat semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan menganggapnya angin lalu saja.

Sebagai artis tenar, tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali hanya untuk menyatakan kangen.

Di antara mereka yang mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka mengkhawatirkan.

Begitulah, di awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan hidupku.

Beberapa bulan setelah Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan. Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung. Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.

Untung, meskipun agak surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami. Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan, salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.

Mula-mula, aku mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar. Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton pertengkaran kedua orang tua mereka.

Sebenarnya sudah sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku. Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.

Setelah itu, aku jadi sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku keagamaan.

Waktuku pun tersita oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan muslimat.

Ringkas cerita; dari sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan --bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan, sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti sekarang ini.

Dengan statusku yang seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi, kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan, tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami, sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.

Lalu terjadi sesuatu yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.

Namun beberapa lama kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini milik siapa, Bu?"

"Apa itu?" tanyaku tak mengerti.
"Ini barang berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila ketahuan!"
"Masya Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam ini. Ini sudah keterlaluan.

Setelah aku musnahkan barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap anak-anak.

Terus terang aku sudah tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku. Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar-- idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku bingung.

Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran! Aku benar-benar pusing!***

Nyanyian Malaikat

Cerpen: Sunlie Thomas Alexander

MALAIKAT akan senantiasa bernyanyi. Mengiringi orang-orang memetik sahang(1, kata nenek sembari menghisap kreteknya dalam-dalam. Amir mencoba membayangkan rupa malaikat itu.

Cantik, berhidung mancung, berbibir tipis yang selalu merekah basah, dan bermata cemerlang sebiru laut. Mengenakan gaun panjang putih bersih berenda-renda yang menjuntai sampai ke tanah. Dengan sepasang sayap putih yang berpendaran kemilau, mengepak-ngepak lembut. Seperti gambar di buku cerita yang pernah dilihatnya di perpustakaan sekolah. Dalam bayangannya, malaikat itu hinggap di pucuk-pucuk junjung(2 sahang, melayang-layang di atas ladang, sambil bersenandung lirih dan bermain harpa.

Berminggu-minggu sejak itu, ia selalu memasang telinga menunggu nyanyian itu terdengar, seperti kata nenek, menyelinap di antara gemerisik daun-daun lada, kicau burung-burung, senda gurau para perempuan memetik sahang, dan suara riak air sungai yang tersibak dilewati kapal-kapal pengangkut kayu dan biduk sampan. Setiap pulang sekolah, tanpa berganti pakaian ia sudah berlari-lari ke ladang. Ikut membantu emak dan ayuk(3 Siti mengumpulkan biji-biji sahang yang sudah berwarna merah, jingga, dan kuning ke dalam kaleng-kaleng untuk kemudian dituangkan ke dalam karung-karung goni bekas beras, sebelum dibawa direndam di pinggiran sungai, sambil membuka telinga lebar-lebar berharap nyanyian itu akan melintas.

Tetapi sampai masa panenan berakhir dan orang-orang kembali mulai menebang junjung, menanam bibit-bibit baru, nyanyian itu tak kunjung didengarnya. Apakah nenek berbohong? Sebagaimana juga cerita tentang peri hutan yang suka mandi di kolong(4 pada petang hari saat hujan gerimis, kuntilanak-kuntilanak yang sering begagit(5 di pohon Aro belakang rumah, atau hantu Mawang yang bisa menyamar sebagai manusia, menyerupai siapa saja yang dikehendakinya.

"Nenek tidak bohong, Cung.(6."

"Lalu kenapa Amir tidak pernah mendengarnya, Nek?"

"Suatu saat Amir pasti akan mendengarnya."

"Apakah suara malaikat itu merdu, Nek?" tanyanya belum puas.

"Ya, merdu. Merdu sekali."

"Semerdu suara emak?"

"Ya, semerdu suara emakmu." Nenek kembali menghisap kreteknya. Amir suka sekali mendengar emak menyanyi. Dulu sebelum menikah dengan ayah, emak adalah seorang penyanyi pada organ tunggal milik Mang Jurik. Emak menyanyi dalam pesta-pesta hajatan orang-orang kampung, bahkan jauh sampai keluar kampung. Sebagai seorang biduanita, emak memang menjadi primadona. Bukan hanya karena suara emak yang begitu merdu, sehingga tak tertandingi oleh penyanyi-penyanyi lainnya, tetapi juga karena emak pintar berjoget. Kata pakwo(7 Hendi, goyangan emak selalu membuat penonton bertepuk riuh dan tak tahan untuk tidak ikut berjoget. Setiap kali organ tunggal Mang Jurik tampil, orang-orang selalu datang berduyun-duyun dari pelbagai kampung. Tua-muda, laki-perempuan, besar-kecil. Itulah sebabnya setelah menikah dengan ayah dan memutuskan berhenti menyanyi, Mang Jurik kalang-kabut dan bolak-balik membujuk emak agar mau kembali manggung. Tentu saja dengan berbagai tawaran manis. Namun emak tidak bergeming.

Amir jadi merindukan suara emak menyanyi. Nyanyian yang selalu meninabobokannya dalam mimpi indah tentang bidadari-bidadari yang cantik dan baik hati, taman-taman bunga yang terbentang luas dengan lembah-lembah hijau nan sejuk dan sungai-sungai yang mengalir jernih. Tetapi kini Amir telah kehilangan nyanyian merdu itu. Amir tidak tahu sudah berapa lama emak tidak pernah lagi bernyanyi dan mengapa emak tidak lagi menyanyi. Padahal betapa dia ingin mendengar emak menyanyi. Dulu rasanya tidak pernah ada hari yang dilewati emak tanpa menyanyi. Ketika mandi dan mencuci di kolong, ketika menemaninya tidur, ketika merajut baju, ketika menisik atap rumbia di beranda, ketika memetik sahangà

Sejak ayah pergi membawa kapal motor pengangkut kayu gelondongan ke Jakarta lewat sungai besar yang membelah kampung dan tidak pernah kembali, emak tidak pernah lagi bernyanyi. Kata Oom Taufiq, anak buah ayah yang membawa pulang kapal, ayah menghilang entah ke mana dan tidak pernah ditemukan saat kapal bersandar di Kali Baru untuk membongkar muatan. Dia hanya membawa pulang buntalan pakaian milik ayah. Emak cuma bisa menangis. Berbulan-bulan, orang-orang yang disuruh mencari ayah selalu pulang dengan gelengan kepala, yang membuat emak semakin tenggelam dalam kemuraman wajahnya yang dulu senantiasa berseri-seri. Berbulan-bulan, berbilang tahun, emak masih menanti, berharap ayah suatu hari akan tiba-tiba muncul di kampung, tetapi hal itu tidak pernah terjadi. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan ayah. Sejak itulah, Amir tidak pernah lagi mendengar emak bersenandung. Pernah suatu hari, Amir meminta emak menyanyi, tetapi dia malah dibentak dan dicacimaki emak dengan kata-kata yang kasar. Baru sekali itu emak memarahinya sedemikian rupa.

***

"MALAIKAT itu selalu bergerak seperti cahaya. Sehingga mustahil bagi mata kita untuk dapat melihatnya." Amir tercenung mendengar kata-kata Pak Haji Faqih, orang tua yang selalu mengajarinya dan anak-anak kampung lainnya mengaji, belajar mengeja alif bata di surau.

"Tapi kata nenek, kita bisa mendengar suara malaikat menyanyi, Wak(8?" Amir langsung mengangkat tangan bertanya. Pak Haji Faqih hanya tersenyum tipis, disapunya wajah lugu murid kecilnya itu. Anak yang selalu paling banyak bertanya. Dan ketika berhenti di mata anak itu yang berbinar-binar menunggu jawabannya, ia seperti melihat sesuatu yang bergejolak. Dia dapat merasakan ada sesuatu yang lain pada diri anak tersebut. Entah apa.

"Hanya nabi yang pernah mendengar suara malaikat, Nak," tukasnya lembut. "Tapià" Pak Haji Faqih tidak langsung meneruskan, namun kembali menelusuri wajah anak di hadapannya dengan agak ragu, "Mungkin saja nenekmu benar."

Amir menyimpan jawaban mengambang itu lekat-lekat dalam benaknya. Membawanya ke dalam tidur. Tidur yang tak lagi dihantar nyanyian emak yang membelainya dengan hangat. Tetapi dalam tidurnya malam itu, ia bermimpi mendengar lagi suara emak menyanyi. Dalam mimpinya, emak menyanyi sambil memetik sahang di ladang. Merdu sekali. Betapa sudah sekian lama ia tidak pernah mendengar suara semerdu itu. Betapa rindunya ia pada nyanyian emak. Tiba-tiba, di tengah suara nyanyian emak yang mendayu-dayu di antara gemerisik daun-daun lada, ia mendengar suara seperti kelepak sayap burung. Kelepak yang kemudian menimbulkan angin keras. Menggoyangkan daun-daun lada, membuat rok emak tersingkap. Disusul suara nyanyian tak kalah merdu, teramat merdu yang menimpali suara nyanyian emak. Terkejut, ia mendongak. Seorang malaikat yang cantik jelita dengan rambut terurai kemilau laksana cahaya sedang hinggap di atas salah satu batang junjung sahang sambil menyanyi dan memetik harpa. Wajahnya memancarkan tujuh warna pelangi. Mengenakan gaun panjang putih bersih berenda-renda yang berjuntai hingga ke tanah, bersayap putih lembut bagaikan salju yang terang-benderang, seperti dalam bayangannya selama ini. Sepasang mata malaikat itu yang sebiru samudera menatapnya dengan lembut seperti tatapan nenek.

Dalam tidur, Amir tersenyum bahagia. Sedemikian lelap dalam mimpi yang indah itu. Sehingga tidak didengarnya sedikit pun suara dengus, rintihan, dan erang tertahan sampai subuh menjelang dari kamar sebelah, di mana tubuh emak sedang ditindih sesosok lelaki yang diharuskan oleh emak dipanggilnya ayah.

***

INI bukan pertama kali ia menyaksikan lelaki itu menempeleng emak. Seperti yang sudah-sudah, disusul makian kotor dan barang-barang dibanting. Amir terbelalak di belakang pintu kamar ketika melihat bagaimana lelaki itu meraih okulele tua kesayangan ayah yang tergantung di dinding ruang tamu lalu membantingnya ke lantai. Dia ingin berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Okulele mengkilap yang dulu sering dipetik ayah sore-sore mengiringi emak menyanyi itu pecah berantakan. Emak meraung keras. Tanpa sadar Amir mencengkeram daun pintu kuat-kuat, mata dan dadanya terasa panas. Sementara ayuk Siti menangis terisak-isak di atas tempat tidur. Meringkuk pucat.

"Babi kau Taufiq! Anjing!" emak menangis tersedu-sedu memeluk okulele yang pecah itu. Lelaki itu menyeringai lebar lalu tertawa terkekeh.

"Pokoknya besok kalau Ko(9 Akhiong datang, ladang itu harus jadi dijual!" tukasnya sambil melotot besar lalu menyalakan sebatang rokok.

"Sekali aku bilang tidak, tetap tidak, lelaki tak tahu diuntung!" emak balas melotot tak kalah galak.

"Perempuan bagak(10! Tanah itu mengandung banyak timah, tahu! Harganya tinggi! Lagi pula buat apa kau mempertahankan lagi ladang itu? Masih mau nanam sahang?" lelaki itu tersenyum sinis. "Kau pikir harga sahang agik pacak(11 naik? Ka dak nengok, di mane-mane urang nanam sahang saro bae! Mane pupuk lah mahal, junjung lah dak tahu agik nek nebang di mane!"(12

"Kalau aku tetap tidak mau jual, kau mau apa?" suara emak melengking.

"Tetap akan kujual."

"Bangsat! Apa hak kau menjualnya? Itu ladang peninggalan Muis, lakiku!" emak menjerit.

"Hei, yang jadi suamimu sekarang itu aku! Aku!" bentak lelaki itu sambil memukul-mukul dadanya sendiri.

"Kalau begitu sekarang juga aku minta cerai! Rugi aku mau menikah denganmu! Aku minta talak tiga!" emak menjadi kalap.

Amir mencengkeram daun pintu semakin keras. Keringat deras membasahi seragam sekolah yang masih dikenakannya. Sungguh tidak dapat dibayangkannya ladang itu akan dijual. Terlintas olehnya malaikat jelita yang bernyanyi dan memetik harpa di atas junjung sahang itu. Masih tergiang olehnya suara nyanyiannya yang merdu di antara suara nyanyian emak, kicau burung-burung Punai, gemerisik daun-daun lada tertiup angin, dan aroma merica yang begitu harum. Kedua tangannya mengepal. Gemetar. Perlahan ia membuka pintu kamar. Diliriknya parang bersarung papan yang tergantung di dinding. Parang yang biasa dibawa emak ke ladang. Lututnya terasa goyah. Lelaki itu kembali membentak emak. Tangannya menjadi dingin. Secepat kilat ia menyambar parang itu, mencabutnya dari sarung. Lelaki itu kaget. Emak berseru tertahan. Creeesssà.!! Lelaki itu berteriak meraung. Suaranya memecah kelenggangan petang. Mata parang itu berubah merah.

***

HUJAN rintik-rintik menjadi deras. Masih terdengar olehnya suara-suara ramai berseru tegang di belakang, juga suara emak yang menjerit-jerit ketakutan dan menangis tersedu-sedu. Dengan nafas terengah-engah didayungnya sekuat tenaga sampan kecil miliknya yang dulu dibuatkan ayah. Menjauhi pinggiran kampung. Kampung di tepi sungai besar itu, orang-orang lebih senang menyebutnya Kute, dan konon merupakan kota pertama di pulau Bangka. Kampung kecil yang selalu ramai disinggahi kapal-kapal pengangkut kayu dan kelapa sawit dari Sumatera daratan dan pulau Jawa.

Tiba-tiba terdengar olehnya sayup-sayup suara nyanyian itu. Semakin keras bersamaan dengan semakin jauh sampan yang dikayuhnya bergerak membelah riak sungai. Sedemikian indah, sehingga ia terpana. Nyanyian itu seperti diiringi suara semacam tiupan terompet, namun lain. Bunyinya membahana lantang, bergema di langit petang yang semakin gelap. Kuning keungu-unguan. Suara alat musik apakah itu? Amir tidak pernah mendengarnya. Tapi seketika ia jadi teringat pada cerita yang pernah dituturkan nenek, dan terkesima. Apakah itu bunyi tiupan sangkakala? Dia ingat nenek pernah mengatakan, malaikat Israfil akan meniup sangkakala pada hari kiamat.***

Yogyakarta, Lebaran 200

Indri

Cerpen: Asa Jatmiko

Indri masih diam memaku di depanku. Saya pun sesaat diam untuk memberi kesempatan ia berkata-kata. Atau minimal membiarkannya menghela napas dalam dengan rasa bebas. Tapi Indri tidak melakukan apa-apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lapang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang sedikit ikal tersisir rapi dalam dua belahan ke belakang. Lalu Indri menunduk membenarkan baju ungu yang dikenakannya, kembali menatapku. Dan masih tanpa suara.

"Kartu Kesehatan kamu terpaksa dikembalikan oleh perusahaan," kata saya sekali lagi. "Kalau kamu masih berharap bahwa cuti kehamilanmu disetujui untuk mendapatkan biaya ganti, mestinya kamu mau mendengarkan saranku."

Indri hamil. Sebagaimana biasanya, setiap buruh wanita yang hamil akan mendapatkan uang dan kesempatan cuti hingga masa persalinannya. Ia sudah mengajukan sekitar dua minggu yang lalu, tetapi hari ini Kartu Kesehatan yang disertakan dalam pengajuan cutinya kembali. Alasannya, tidak tercantum nama suaminya.

"Saya harus mengisi siapa?" tanya Indri. Saya sudah menduga ia akan mempertanyakan hal itu. "Itulah maksud saya, sedikit direkayasa kan tidak apa-apa. Untuk sementara saja, daripada kamu malah tidak mendapatkan hakmu!" jawab saya, karena saya pikir itu akan ikut membantunya.

"Iya, saya tahu maksud Bapak. Saya harus mencatut sebuah nama agar saya bisa mendapat santunan, begitu kan?! Saya harus memanggilnya sebagai suami yang tidak pernah menikahi saya, semata-mata demi santunan itu?!" kata Indri setengah parau.

"He, bukan santunan! Itu hakmu sebagai buruh! Perusahaan berkewajiban memberikan uang untuk biaya kehamilanmu!" Saya mengingatkan. Bahkan saya katakan kepada Indri untuk tidak berterima kasih kepada perusahaan, karena memang sebaliknya, itu bentuk terima kasih dari perusahaan, bentuk perhatian. Dan sekali lagi hal itu adalah wajib hukumnya! Indri tidak perlu merasa disantuni atau dibantu, kalau nyatanya memang mampu, tetapi perusahaan tetap akan memberikan uang itu kepadanya.

"Makanya, karena ini hakmu, penuhi dulu syaratnya. Tidak sulit kan kalau hanya sekedar menuliskan sebuah nama laki-laki di sini. Okelah kalau lelaki itu belum menikahimu saat ini, tapi nantinya toh tetap akan menjadi suami." Saya menjelaskan lebih luas lagi, demi dia sendiri. "Kau pun sebenarnya agak keliru, kenapa terjadi hamil sebelum kalian menikah!"

"Saya tidak pernah menikah! Saya diperkosa! Dan saya tidak memiliki lelaki yang saya cintai!!" Indri menjerit, dan menangis.

"Kamu… diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?"
"Mereka bukan pacar saya! Saya tidak mencintai siapa pun!"
"Mereka? Artinya lebih dari seorang…." Tapi saya tak tega mempertanyakannya. Sudah cukup jelas, Indri diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Buru-buru, demi melihat penderitaannya, saya meminta Indri untuk datang kembali besok pagi sebelum saya pergi ke kantor pusat.

"Dia memang perempuan nakal, Pak! Biarkan saja, ia layak mendapatkan risikonya sendiri. Kita ikut susah, tapi kesia-siaan yang akan kita dapat," celetuk pembantu kantor saya.

Tapi saya membiarkan pendapatnya menguap di udara. Semestinya bagi saya untuk memperjuangkan haknya yang wajar dia dapatkan. Tidak ada yang istimewa. Soalnya adalah sebuah nama yang mesti saya tulis di Kartu Kesehatannya, siapa. Indri pun tak menyebut satu nama pun.

Sudah saya niatkan sore itu pergi menemui Indri, perempuan dengan rambut setengah ikal itu. Saya merasa perlu untuk mengetahui lebih jelas apa duduk persoalan sebenarnya. Jangan-jangan kehamilannya pun cuma akal-akalan, agar ia mendapat cuti hamil dan biaya ganti persalinannya. Buruh semacam Indri sangat mungkin melakukannya. Di samping malas, ia tidak berangkat kerja, tetapi tetap mendapatkan uang dari perusahaan.

Indri masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar 20-an. Di kota ini, tidak sulit menemukan perempuan yang menikah pada usia muda. Kebanyakan ukuran bukan pada usia, tapi pada jaminan telah bekerja. Tidak apa menikah, asal sudah bekerja. Tapi mungkin perlu untuk memperhatikan ucapan pembantu kantor saya, siang tadi. Gadis seindah Indri, bukan tidak mungkin telah diperkosa sungguh-sungguh oleh karena, maaf, profesinya selain menjadi buruh. Indri seorang pekerja seks jugakah?

Kalau benar ia seorang pekerja seks pula, maka saya memang tak perlu susah payah mengupayakan cuti hamil dan biaya persalinannya. Biar saja orang akan mengatakan bahwa saya tidak memperhatikan anak buahnya. Saya lebih berprinsip, itu bagian dari proses pendidikan SDM di dalam pabrik. Kalau sudah niat bekerja, ya sebisa mungkin berjalan dengan lurus. Toh bisa semakin jelas apabila nanti ia diberi kepastian untuk memilih, kerja di pabrik atau keluar saja. Di tengah ribuan pekerja, apabila soal seperti itu dibiarkan, akan menjadi virus yang bisa menular. Buruh-buruh yang lain akan ikut-ikutan, karena merasa pihak perusahaan menutup mata.

Akhirnya, apa yang ingin saya katakan kepada pembantu kantor saya adalah citra. Ini yang penting. Saya ikut bertanggung jawab terhadap baik dan tercorengnya citra perusahaan. Oleh karena itulah saya ingin mendapatkan keterangan lebih jelas dan akurat mengenai Indri.

Dengan sedikit kikuk, Indri mempersilakan saya untuk masuk. Saya sudah bilang agar jangan menganggap saya sebagai atasannya di rumahnya. Tapi itu mungkin sulit baginya.

"Kapan kamu melahirkan?" tanyaku.
"Hari Sabtu. Berarti tiga hari yang lalu, Pak."
"Bagaimana, kau sehat saja?"
"Ya, seperti inilah. Bapak melihat sendiri."

Indri tersenyum, tersipu-sipu dengan sepasang bibir merah yang basah. Saya mencicipi minuman teh yang ia sajikan. Lalu saya menanyakan kembali soal cuti hamil yang dibahas di kantor. Indri kembali kelihatan serius.
"Ada apa?"
"Tidak, Pak. Saya hanya merasa jenuh kalau harus memikirkan hal itu lagi," jawabnya.

"Tapi itu sangat perlu. Apa kamu mau katakan siapa mereka yang telah memperkosamu sehingga kamu hamil?" Indri menggeleng. "Kenapa kau menutupi mereka? Mereka telah berbuat sangat jahat kepadamu!"
"Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Pak."

Baiklah. Saya menanyakan bagaimana keluarganya atau saudaranya. Saya mendapat ide, agar nama suami di Kartu Kesehatan yang masih kosong itu diisi nama salah seorang familinya. Bisa pamannya atau kakaknya atau siapa pun. Yang penting ada perjajian sebelumnya, bahwa setelah dana turun nama itu dilepas. Saya tidak tahu apakah itu sudah menyalahi aturan atau tidak. Tapi kalau di antara mereka saling percaya, saya kira persoalan tidak menjadi sulit.

Tapi Indri tidak mau. Ia bilang bahwa ia sudah malu dengan keluarga, sehingga sudah buntu untuk minta tolong. Keluarganya tidak ingin ikut cemar gara-gara dia, kata Indri.

Siang yang lain saya masih menunggu Indri di kantor. Tetapi ia tidak muncul juga, sehingga saya terpaksa harus tetap pergi ke pusat tanpa ada kejelasan sikapnya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak sekedar memberikan Kartu Kesehatan, tetapi dengan penjelasan bahwa bagaimana pun Indri tetap berhak atas uang cuti persalinannya.

"Sebagai pribadi, saya sebetulnya kasihan. Tapi keputusan perusahaan yang tetap memberikan uang cuti hamil kepada buruh yang hamil tanpa suami? Apa kata dunia?!" kata manajer personalia kepada saya. Saya sudah menyadari hal itu, pikir saya. Lalu saya disuruh meninggalkan ruangannya tanpa mendapat kejelasan nasib Kartu Kesehatan Indri. "Lihat nanti sajalah!" katanya.

Sore yang lain lagi, saya kembali mendatangi rumah Indri. Kedatangan saya disambut tangis bayinya. Saya pun memberanikan diri untuk menggendongnya. "Indri, kalau boleh, biarkan anak ini menjadi anak saya. Belum terlalu tua aku punya bayi, kan?"

Indri menangis terharu. "Segeralah kamu cari pacar, dan kawin," kata saya lagi. "Lupakan masa lalu ini." ***

Kudus, 2003

Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03